Antara Sahel dan Yaman: Keberanian atau Bumerang?
Gelombang negara-negara Afrika Sahel yang mengusir Prancis beberapa tahun terakhir sering dipandang sebagai simbol kebangkitan kedaulatan nasional melawan pengaruh asing. Mali, Burkina Faso, dan Niger mengambil langkah keras dengan mengakhiri perjanjian militer dan memaksa pasukan Prancis hengkang, meski negara mereka berada dalam kondisi rapuh. Narasi keberanian inilah yang kini kerap disandingkan dengan keputusan Dewan Kepemimpinan Presiden (PLC) Yaman mengusir Uni Emirat Arab dari wilayahnya.
Sekilas, langkah PLC terlihat serupa: sama-sama menolak kehadiran mitra militer asing yang dianggap bertindak di luar kendali negara. Rashad al-Alimi menyampaikan keputusan itu atas nama kedaulatan Yaman, menuduh UEA mengirim senjata tanpa persetujuan resmi dan memperparah eskalasi konflik. Seperti negara-negara Sahel, Yaman juga tengah mencari kembali otoritas negara yang telah lama tergerus perang dan intervensi luar.
Namun di balik kemiripan narasi, realitas Yaman jauh lebih kompleks. Tidak seperti Mali atau Niger yang masih menguasai aparatur negara dan tentara nasional, PLC Yaman justru berhadapan dengan aktor lokal bersenjata yang lebih kuat di lapangan. Dewan Transisi Selatan dan pasukan sekutunya, yang didukung UEA, telah lama menjadi kekuatan de facto di selatan, bahkan mendominasi ibu kota sementara Aden.
Perbedaan inilah yang membuat langkah PLC berisiko berubah dari simbol kedaulatan menjadi pemicu fragmentasi. Mengusir UEA di Yaman bukan hanya soal memutus hubungan dengan negara asing, melainkan juga membuka konfrontasi dengan kekuatan domestik yang memiliki agenda politik sendiri, termasuk pemisahan diri. Dalam konteks ini, inspirasi Sahel bisa menjadi pedang bermata dua.
Pertanyaan kuncinya kini: apakah langkah PLC akan tercatat sebagai keberanian yang mengembalikan martabat negara, atau justru menjadi bumerang yang mempercepat lahirnya realitas negara paralel di Yaman? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi setelah keputusan tersebut, bukan oleh pidato atau deklarasi semata.
Kemiripan utama
Pertama, baik di Sahel maupun Yaman, pengusiran dilakukan dengan narasi kedaulatan nasional. Mali, Burkina Faso, dan Niger menuduh Prancis melanggar kedaulatan dan gagal menjaga keamanan. PLC Yaman juga menuduh UAE bertindak tanpa izin resmi, mengirim senjata tanpa persetujuan, dan mengancam stabilitas nasional. Secara bahasa politik, pola ini hampir identik.
Kedua, dalam kedua kasus, aktor yang “diusir” sebenarnya tidak sepenuhnya berada di bawah kendali negara tuan rumah. Prancis di Sahel menjalankan operasi militer sendiri dengan agenda regionalnya. UAE di Yaman juga tidak sekadar membantu PLC, melainkan membangun jaringan militer dan politik sendiri lewat STC dan pasukan Tariq Saleh.
Ketiga, baik di Sahel maupun Yaman, keputusan itu diambil ketika negara sudah sangat rapuh. Mali, Burkina Faso, dan Niger mengusir Prancis bukan dari posisi kuat, melainkan dari posisi frustrasi dan tekanan internal. PLC Yaman pun berada dalam situasi serupa: kekuasaannya terbatas dan legitimasi di lapangan melemah.
Namun, perbedaannya jauh lebih menentukan.
Perbedaan paling krusial adalah siapa yang memegang kekuasaan nyata. Di Sahel, pemerintahan militer menguasai ibu kota, tentara nasional, dan sebagian besar wilayah kunci. Saat Prancis diusir, tidak ada kekuatan domestik tandingan sekuat Prancis yang bisa menggantikan atau melawan negara secara langsung. Di Yaman, PLC tidak menguasai selatan, bahkan STC—sekutu UAE—lebih kuat secara de facto di Aden.
Perbedaan kedua: Prancis tidak memiliki proksi domestik yang lebih kuat dari negara. Di Sahel, militer nasional tetap milik negara. Di Yaman, UAE justru membangun aktor lokal (STC, pasukan elite pesisir, Tariq Saleh) yang kekuasaannya melampaui negara. Mengusir UAE berarti memicu konflik dengan aktor domestik bersenjata, bukan sekadar menarik pasukan asing.
Perbedaan ketiga: lingkungan regional. Sahel relatif jauh dari kepentingan langsung negara tetangga kuat. Yaman berada tepat di jantung kepentingan Saudi. Keputusan PLC otomatis memaksa Saudi terlibat, baik mendukung, menahan, atau menyeimbangkan langkah UAE. Ini membuat krisis Yaman jauh lebih kompleks.
Perbedaan keempat: alternatif pengganti. Negara Sahel segera mengganti Prancis dengan mitra lain (saat itu Rusia/Wagner). PLC Yaman tidak punya pengganti nyata untuk peran militer dan politik UAE di selatan. Saudi tidak sepenuhnya bisa menggantikan UAE tanpa merombak total arsitektur perang.
Perbedaan kelima: tujuan akhir. Negara Sahel ingin tetap sebagai satu negara utuh. PLC Yaman menghadapi aktor (STC) yang secara terbuka ingin memisahkan diri. Mengusir UAE dalam konteks ini berisiko mempercepat pembelahan negara.
Kesimpulan tajam
Kasus Sahel memberi inspirasi psikologis bagi PLC: “negara lemah bisa menantang kekuatan besar”. Tetapi secara struktural, PLC tidak berada pada posisi Mali, Burkina Faso, atau Niger. Lebih tepatnya, PLC berada pada posisi Afghanistan pasca-2001 yang mencoba mengusir satu sponsor, sementara masih bergantung pada sponsor lain dan dikepung aktor non-negara kuat.
Jadi, kemiripannya ada di narasi dan keberanian simbolik, tetapi perbedaannya terletak pada realitas kekuasaan di lapangan. Di Sahel, pengusiran memperkuat negara. Di Yaman, langkah serupa justru berpotensi mengakui secara tidak langsung lahirnya realitas negara paralel di selatan.
Antara Sahel dan Yaman: Keberanian atau Bumerang?
Reviewed by peace
on
Desember 30, 2025
Rating:


Tidak ada komentar