Nusantara Menjelajah Dunia: Jejak Pelaut Kuno di Lima Benua
Sejarah dunia selama ini hanya mencatat nama-nama seperti Christopher Columbus, Vasco da Gama, dan Ferdinand Magellan sebagai penjelajah samudra yang membuka jalur dunia baru. Namun, tak banyak yang tahu bahwa jauh sebelum peta dunia lengkap digambar, para pelaut dari Nusantara telah lebih dulu mengarungi samudra, menjalin hubungan lintas benua, dan bahkan menorehkan pengaruh budaya yang masih terasa hingga kini.
Salah satu sosok paling bersejarah namun terlupakan adalah Enrique Maluku. Dalam catatan Antonio Pigafetta, penulis perjalanan Magellan, nama Enrique muncul sebagai pelaut dari Maluku yang turut serta dalam pelayaran mengelilingi bumi. Ia menjadi orang Asia pertama yang mengelilingi dunia, namun sayangnya tak banyak buku sejarah yang mencantumkan namanya secara layak.
Nama Enrique Maluku seolah terkubur dalam bayang-bayang kemasyhuran para penjelajah Eropa, meski perannya vital dalam navigasi, diplomasi, hingga bertahan hidup selama pelayaran maut itu. Dalam buku karya Helmy Yahya dan Reinhard Tawas, dijelaskan bahwa Enrique bukan sekadar awak kapal biasa, melainkan pelaut yang memahami bahasa lokal dan menjadi penghubung budaya selama ekspedisi.
Jejak Nusantara di dunia pun tidak berhenti pada kisah Enrique. Para pelaut dari Nusa Utara — Sangihe, Talaud, dan Sitaro — dikenal sebagai penakluk laut dunia. Nama-nama seperti Kapten Krets Mamondole menunjukkan bahwa hingga abad modern pun, warisan pelaut ulung Nusantara tetap hidup. Mamondole dikenal luas di dunia pelayaran internasional, pernah bertugas di kapal-kapal pemecah es di Kutub Utara dan menulis buku teknik pelayaran berjudul Anchor Handling.
Tak sedikit pelaut dari kepulauan utara Indonesia yang melayari rute internasional dan menaklukkan jalur laut paling berbahaya di dunia. Dengan keberanian dan keterampilan tinggi, mereka dicatat dalam sejarah pelayaran global sebagai navigator tangguh yang mampu bersaing dengan pelaut dari negara-negara maritim besar.
Sejak berabad-abad lalu, orang Nusantara juga diketahui telah menjelajah hingga ke Australia dan Selandia Baru. Artefak, jejak DNA, dan bukti linguistik menunjukkan interaksi awal antara suku-suku pribumi di kedua wilayah tersebut dengan pelaut-pelaut dari Asia Tenggara. Hal ini membuktikan bahwa perahu-perahu bercadik dari Nusantara telah menjelajahi selatan jauh sebelum James Cook tiba di Pasifik.
Selain itu, catatan Columbus sendiri mengungkap bahwa ketika ia pertama kali tiba di Benua Amerika, ia menjumpai penduduk yang menyebut pemimpinnya dengan gelar “Keucik” dan “Kuasanagari”—gelar khas dari Aceh dan Minangkabau. Dalam laporan yang dikirim kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, masyarakat yang mereka temui hidup dalam tatanan sosial yang sopan, terorganisir, dan sangat bersahabat.
Baca: Jejak Minang dan Aceh di Amerika Sebelum Columbus
Kisah ini diperkuat oleh penjelasan Miguel Pericas dari Cadiz yang turut serta dalam pelayaran Columbus. Ia menggambarkan masyarakat tersebut memiliki struktur sosial yang mirip dengan masyarakat adat di Nusantara, membuat para peneliti kini kembali membuka kemungkinan adanya kontak jauh sebelum kolonialisme datang.
Tak hanya itu, hubungan diplomatik juga tercatat terjadi antara Nusantara dan Amerika di masa awal kemerdekaan negeri Paman Sam. Sultan Allioedin dari Kesultanan Banten dikabarkan memberi bantuan berupa ribuan ton emas kepada Amerika Serikat setelah kemerdekaannya pada 4 Juli 1776. Sebuah bentuk solidaritas internasional dari Timur untuk bangsa baru di Barat yang tengah membangun diri.
Di masa yang lebih modern, Aceh dan Salem (Massachusetts) menjalin hubungan dagang sejak abad ke-17, saat Amerika bahkan belum berdiri sebagai negara. Ikatan ini tidak pernah putus. Ketika tsunami menghantam Aceh pada 2004, masyarakat Salem dan Boston melakukan penggalangan dana besar-besaran sebagai bentuk penghormatan terhadap “hubungan lama” itu, sebagaimana dicatat oleh The Boston Globe.
Pertemuan antara para direktur dan penasihat Dewan Kota Salem dengan Menteri Kebudayaan Indonesia kala itu menjadi pengingat akan pentingnya diplomasi budaya. Task Force yang dibentuk Salem bahkan diharapkan melibatkan pandangan Indonesia, agar keputusan sejarah tak hanya didasarkan pada opini segelintir orang, melainkan pada warisan kultural yang sahih.
Hubungan antara Nusantara dan Amerika tidak selalu damai. Pada abad ke-19, Amerika pernah terlibat perang dagang dengan Kerajaan Kuala Batee (Kuala Batu) di Aceh, setelah perselisihan menyangkut perlakuan terhadap kapal-kapal dagang. Serangan Amerika ke wilayah Kuala Batee menewaskan penduduk dan meninggalkan jejak kelam yang hingga kini jarang dibahas.
Dari perselisihan hingga persahabatan, dari pelayaran hingga diplomasi emas, jelas bahwa orang-orang Nusantara telah menjadi bagian dari sejarah dunia jauh sebelum nama-nama besar Eropa mengisi buku pelajaran. Mereka menjelajah dunia, membangun hubungan antarbangsa, dan meninggalkan jejak budaya yang masih terasa hingga kini.
Kini, sudah waktunya kisah tentang Enrique Maluku, Sultan Allioedin, pelaut-pelaut Nusa Utara, serta jejak Minang dan Aceh di Amerika dimasukkan ke dalam peta sejarah global. Bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai tokoh utama yang selama ini diabaikan narasi kolonial.
Warisan maritim Nusantara bukan sekadar kebanggaan masa lalu. Ia adalah fondasi diplomasi, identitas, dan semangat keberanian bangsa Indonesia untuk kembali memainkan peran penting di panggung dunia hari ini.
Dibuat oleh AI
Nusantara Menjelajah Dunia: Jejak Pelaut Kuno di Lima Benua
Reviewed by peace
on
April 09, 2025
Rating:
Tidak ada komentar